- Artikel ini memuat informasi tentang wilayah barat Pulau Papua. Untuk provinsi Papua Barat di Indonesia, lihat Papua Barat.
Daftar isi
Sejarah
Penguasaan Bacan, Ternate, dan Tidore
Menurut Kakawin Nagarakretagama yang ditulis antara bulan September-Oktober tahun 1365, daerah Wwanin/Onin (Kabupaten Fakfak) merupakan daerah pengaruh mandala Kerajaan Majapahit, kawasan ini mungkin bagian dari koloni kerajaan Hindu di Kepulauan Maluku yang diakui ditaklukan Majapahit. Dari keterangan yang diperoleh dalam kitab klasik Negarakertagama, misalnya, di sana dijelaskan sebagai berikut: " Ikang sakasanusasanusa Makasar Butun Banggawai Kuni Ggaliyao mwang i [ng] Salaya Sumba Solot Muar muwah tigang i Wandan Ambwan Athawa maloko Ewanin ri Sran ini Timur ning angeka nusatutur".Menurut sejumlah ahli bahasa yang dimaksud Ewanin adalah nama lain untuk daerah Onin dan Sran adalah nama lain untuk Kowiai. Kowiai merupakan kerajaan lokal yang pengaruh mandalanya hingga sampai Kepulauan Kei, di tenggara Maluku. Namun Nagarakretagama tidak dapat dianggap sumber sejarah yang terpercaya tetapi lebih merupakan pujian seorang pujangga istana kepada rajanya.
Dalam bukunya "Neiuw Guinea", WC. Klein juga menjelaskan fakta awal mula pengaruh kerajaan Bacan di tanah Papua. Di sana dia menulis: In 1569 Papoese hoof den bezoeken Batjan. Ee aanterijken worden vermeld. ( pada tahun 1569 pemimpin-pemimpin Papua mengunjungi kerajaan Bacan dimana dari kunjungan terebut terbentuklah kerajaan-kerajaan).[1] Menurut sejarah lisan orang Biak, dulu ada hubungan dan pernikahan antara para kepala suku mereka dan para sultan Tidore. Suku Biak merupakan suku Melanesia terbanyak yang menyebar di pantai utara Papua, karena itu bahasa Biak juga terbanyak digunakan dan dianggap sebagai bahasa persatuan Papua. Akibat hubungan daerah-daerah pesisir Papua dengan Sultan-Sultan Maluku maka terdapat beberapa kerajaan lokal (pertuanan) di pulau ini, yang menunjukkan masuknya sistem feodalisme yang merupakan bukan budaya asli etnik Papua. Kerajaan-kerajaan tersebut diantaranya :
- Kerajaan Waigeo[2]
- Kerajaan Misool/Lilinta (marga Dekamboe)[3]
- Kerajaan Salawati (marga Arfan)[4]
- Kerajaan Sailolof/Waigama (marga Tafalas)[5]
- Kerajaan Fatagar/(marga Uswanas)
- Kerajaan Rumbati (marga Bauw)
- Kerajaan Atiati (marga Kerewaindżai)
- Kerajaan Sekar (marga Rumgesan)[6]
- Kerajaan Patipi[7]
- Kerajaan Arguni
- Kerajaan Wertuar (marga Heremba)
- Kerajaan Kowiai/kerajaan Namatota
- Kerajaan Aiduma
- Kerajaan Kaimana
Penguasa Kerajaan Lilinta/Misol (sejak abad ke-16 bawahan kesultanan Bacan):
- Abd al-Majid {1872-1904)
- Jamal ad-Din (1904-1945)
- Bahar ad-Din Dekamboe (1945 - )
- Abd ar-Rahman (1872-1891)
- Hasan (1891/1900-1916)
- Syams ad-Din Tafalas (1916-1953)
- Abd al-Kasim (1873-1890)
- Muhammad Amin (1900-1918)
- Bahar ad-Din Arfan (1918-1935)
- Abu’l-Kasim Arfan (1935-?)
- Gandżun (1900-1918)
Tidore menganggap dirinya atasan Biak[8]. Pada masa itu, pedagang Melayu mulai mengunjungi pulau Irian. Justru pandangan Tidore ini yang menjadi alasan Belanda menganggap bagian barat pulau ini adalah bagian dari Hindia Belanda.
Sejak abad ke-16, selain di Kepulauan Raja Ampat yang termasuk wilayah kekuasaan Sultan Bacan dan Sultan Ternate, kawasan lain di Papua yaitu daerah pesisir Papua dari pulau Biak (serta daerah sebaran orang Biak) sampai Mimika merupakan bagian dari wilayah mandala Kesultanan Tidore, sebuah kerajaan besar yang berdekatan dengan wilayah Papua. Tidore menganut adat Uli-Siwa (Persekutuan Sembilan), sehingga propinsi-propinsi Tidore seperti Biak, Fakfak dan sebagainya juga dibagi dalam sembilan distrik (pertuanan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar